Jakarta, HarianMalut – Anggota Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Maluku Utara Graal Taliawo menyatakan perlu kebijakan jeda pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) demi mengatasi krisis lahan pertanian dan perkebunan.
“Kira-kira apakah memungkinkan di tengah krisis pangan hari ini dan krisis lahan karena adanya alih fungsi lahan, ada kebijakan untuk jeda mengeluarkan izin pertambangan baru,” kata Graal Taliawo dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (2/3/2025).
Ia menuturkan bahwa wilayah Maluku Utara mengalami krisis lahan pertanian dan perkebunan yang telah beralih fungsi menjadi lahan pertambangan.
Salah satunya adalah Kabupaten Pulau Taliabu yang menghadapi krisis lahan, karena lahan di satu pulau tersebut sudah penuh digunakan untuk izin pertambangan.
Sementara itu, sekitar 50 persen wilayah Kabupaten Halmahera Tengah merupakan area konsesi pertambangan, sedangkan luas lahan pertanian hanya sekitar 2,6 ribu hektare.
Graal mengatakan bahwa jika tidak segara diatasi, maka hal tersebut akan berdampak negatif terhadap pemenuhan pangan lokal, sehingga masyarakat setempat harus menyediakan pangan dari luar daerah serta menghambat terwujudnya swasembada pangan.
Tidak hanya mengakibatkan minimnya lahan pertanian, ia menyampaikan bahwa pemberian IUP yang berlebihan juga menyebabkan pencemaran air, sehingga banyak produk perikanan yang tidak lagi layak konsumsi.
“Kami di Maluku Utara memiliki tiga teluk, Teluk Obi, Teluk Buli, dan Teluk Weda, yang perairannya kini tercemar logam berat. Berdasarkan riset, ikan-ikan dari teluk-teluk tersebut sudah tidak layak dimakan, karena mengandung merkuri. Belum lagi dampak ekologis lainnya,” ujarnya lagi.
Graal pun menekankan pentingnya memperkuat komitmen untuk melaksanakan kebijakan mitigasi terhadap persoalan lingkungan melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Pemerintah pusat perlu untuk mengevaluasi pelaksanaan AMDAL dan menindaklanjuti, (bahkan) mencabut IUP jika terbukti ada pengabaian atau pelanggaran,” ujarnya pula.
Selain itu, ia menyatakan bahwa permasalahan lainnya yang timbul dari terlalu banyaknya pemberian IUP adalah konflik lahan yang kerap terjadi antara perusahaan tambang dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal.
“Di Maluku Utara, misalnya, area hidup masyarakat adat Suku Tobelo Dalam di Halmahera Timur beririsan dengan lahan pertambangan,” ujar Graal.
Ia juga menuturkan sejumlah lahan pertanian dan perkebunan warga maupun area hutan lindung di Desa Sailal, Baburino, Buli Asal, Cemara Jaya, dan Desa Pintatu di Kabupaten Halmahera Timur serta Desa Bobo, di Kabupaten Halmahera Selatan bersinggungan dengan lahan pertambangan.
“Kami berharap, sebelum IUP diberikan, harus ada pemetaan lahan terlebih dahulu atas lahan adat, hutan lindung, area pertambangan, dan lainnya. Strategi pemetaan setiap lahan perlu jelas dan tidak boleh ada IUP diberikan sebelum ada pemetaan,” kata dia.
Merespons permasalahan tersebut, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk mempercepat integrasi sistem perizinan yang dapat meminimalisasi kendala birokrasi yang berlarut-larut dan mengurangi tumpang tindih izin.
Ia juga menuturkan bahwa perbaikan tata kelola lokasi dan pemetaan lahan akan menjadi prioritas, termasuk penegakan aturan terkait reklamasi pascatambang.
“Kami terus berupaya meningkatkan pengawasan dan memastikan bahwa perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” katanya lagi. (ANT/BAM)