Ambon, HarianMalut – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku berhasil melepasliarkan 15 ekor biawak kuning (Varanus melinus) ke habitat aslinya di Hutan Desa Waibau, Kecamatan Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara.
“Satwa tersebut sebelumnya dikirim dari Kantor Seksi Konservasi Wilayah (SKW) 1 Ternate ke Resort Sanana menggunakan kapal Al Sudais,” kata Polisi Kehutanan (Polhut) BKSDA Maluku Seto, di Ambon, Sabtu (8/3/2025).
Ia mengatakan, pelepasliaran ini dilakukan karena biawak kuning merupakan spesies endemik yang habitat alaminya berada di Kepulauan Sula. Proses pelepasliaran ini diikuti oleh dokter hewan dari Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Kelas II Sanana serta staf terkait.
“Langkah ini merupakan bagian dari upaya konservasi guna menjaga kelestarian populasi biawak kuning di alam liar,” ujarnya.
Biawak kuning atau biawak Banggai merupakan spesies yang masuk dalam kategori rentan akibat perburuan liar dan hilangnya habitat.
Ia mengaku, satwa ini sering menjadi target perdagangan ilegal karena keunikan warna tubuhnya yang mencolok. Oleh karena itu, pelepasliaran ini menjadi langkah penting untuk memastikan populasi mereka tetap stabil di alam.
“Selain menjaga keseimbangan ekosistem, pelepasliaran ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi satwa liar,” katanya menambahkan.
BKSDA Maluku mengajak masyarakat untuk tidak menangkap atau memperjualbelikan biawak kuning secara ilegal karena dapat berdampak negatif pada populasi dan keseimbangan lingkungan.
BKSDA Maluku bersama pihak terkait terus melakukan patroli dan pemantauan terhadap satwa liar, khususnya yang berada di wilayah konservasi. Mereka juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk menindak tegas perdagangan ilegal satwa yang dilindungi.
BKSDA Maluku juga berkomitmen untuk melakukan sosialisasi lebih intensif kepada masyarakat sekitar kawasan hutan tentang pentingnya menjaga kelestarian satwa liar.
“Edukasi dan pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati di Kepulauan Sula dan sekitarnya,” ucapnya.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahwa, Barangsiapa dengan Sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi (Pasal 21 ayat (2) huruf a), diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta (Pasal 40 ayat (2). (ANT)