Ternate – Tanggal 8 Juli 2025 menjadi momen penting dalam perjalanan saya sebagai bagian dari upaya mempercepat transformasi layanan pendidikan berbasis digital di Maluku Utara. Ini bukan sekadar kunjungan dinas, tetapi misi pembelajaran yang sarat makna, sejalan dengan komitmen Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, untuk menghadirkan layanan pendidikan yang inklusif, adaptif, dan berbasis teknologi.
Denpasar, Bali, menjadi kota pertama yang saya kunjungi. Dalam waktu singkat, saya berkesempatan berdiskusi intens dengan jajaran Dinas Pendidikan Provinsi Bali terkait implementasi kelas virtual—bagian dari inisiatif Rumah Belajar Kementerian Pendidikan.
Yang menarik, kelas virtual di Bali tidak sekadar menjadi platform pembelajaran daring, tetapi dirancang sebagai ruang kolaboratif yang menghormati kearifan lokal. Ini sejalan dengan pandangan Garrison (2001) yang menekankan pentingnya ruang digital sebagai wahana interaksi otentik dalam pembelajaran modern.
Jika dicermati, pendekatan ini memiliki kemiripan dengan Ruang Cataly1st yang dikembangkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku Utara. Namun, Ruang Cataly1st masih terfokus pada penyebaran informasi dan belum sepenuhnya menyentuh aspek pedagogis di ruang kelas. Di sinilah Bali bisa menjadi contoh konkret penerapan teknologi yang terintegrasi dalam proses belajar-mengajar.
Diskusi juga menyinggung sistem Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) berbasis daring yang kini memiliki landasan hukum melalui Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025. Sistem ini merupakan langkah strategis dalam menghapus praktik “titipan” dan membangun transparansi serta akuntabilitas layanan pendidikan.
Namun, tantangan terbesar tetap pada kesiapan masyarakat: baik dari sisi infrastruktur maupun literasi digital. Transformasi digital tidak akan berarti tanpa kesadaran dan dukungan aktif dari seluruh lapisan masyarakat.
Masih di hari yang sama, saya melanjutkan perjalanan ke Palu, Sulawesi Tengah, untuk menghadiri Forum Koordinasi Pembangunan Wilayah Berbasis Penataan Ruang. Salah satu pokok pembahasan forum adalah percepatan program Wajib Belajar 13 Tahun untuk wilayah timur Indonesia.
Forum ini menghasilkan lima komitmen bersama:
- Mewujudkan akses merata dari PAUD hingga pendidikan menengah.
- Meningkatkan kolaborasi lintas pemerintah dan sektor non-pemerintah.
- Memberikan afirmasi khusus untuk kelompok rentan.
- Memperkuat tata kelola pendidikan menengah.
- Mendorong integrasi satu data pendidikan antar-provinsi di Indonesia Timur.
Sulawesi Tengah dan Maluku Utara memiliki kesamaan visi. Program pendidikan gratis, penghapusan uang komite melalui BOSDA, bantuan untuk siswa SMK dalam praktik kerja lapangan dan ujian keahlian, hingga penyediaan seragam gratis untuk siswa dari keluarga prasejahtera, menjadi bukti konkret keseriusan membangun pendidikan yang merata.
Yang patut diapresiasi adalah platform digital Berani Cerdas yang telah mengintegrasikan seluruh layanan pendidikan di Sulawesi Tengah dari data siswa, bantuan keuangan, hingga layanan pendidikan tinggi. Saya melihat langsung bagaimana sistem ini bekerja: efisien, transparan, dan akuntabel. Ini adalah inspirasi yang layak ditiru dalam kerangka digitalisasi layanan pendidikan di Maluku Utara.
Sebelum kembali, saya sempat menunaikan satu niat pribadi: berziarah ke makam Guru Tua, ulama dan pendidik visioner yang meletakkan dasar pendidikan di Lembah Palu. Ziarah ini menjadi pengingat bahwa pendidikan sejatinya adalah jalan perjuangan yang memadukan keikhlasan, keberanian, dan visi jauh ke depan.
Perjalanan ke Denpasar dan Palu menegaskan satu hal: transformasi pendidikan tidak bisa dilakukan sendiri. Ia memerlukan ekosistem kolaboratif yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan teknologi. Maluku Utara tengah berada di jalan yang benar, namun untuk benar-benar bangkit, dibutuhkan komitmen berkelanjutan, keterbukaan belajar dari daerah lain, dan keberanian untuk berubah. Karena di era digital, kecepatan belajar adalah kunci masa depan menuju “Maluku Utara Bangkit”.
Sumber: RRI Ternate
Komentar