HarianMalut – Adanya usulan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) nomor 34 tahun 2004 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang sedang dibahas di Komisi I DPR RI, mulai menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Salah satu yang disoroti adalah perubahan yang terjadi pada pasal 47 soal jabatan di kementerian dan lembaga yang ditempati prajurit TNI aktif. Dalam Pasal 47 UU TNI saat ini, hanya ada 10 lembaga dan kementerian yang bisa ditempati prajurit TNI aktif.
Perinciannya adalah kantor bidang koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara. Selanjutnya, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Dalam RUU TNI yang sedang dibahas, ada tambahan lima pos baru yang bisa ditempati TNI aktif, yakni kelautan dan perikanan, BNPB, BNPT, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Adanya perluasan jabatan sipil yang dapat ditempati TNI aktif inilah yang mendapat penolakan dari sejumlah komponen masyarakat.
Salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil yang meminta Pemerintah dan DPR tidak melanjutkan revisi UU TNI tersebut. Mereka khawatir perluasan jabatan dimaksud berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI yang telah dihapus sesuai mandat reformasi.
Kita mengapresiasi sikap TNI menghormati sejumlah pihak menolak revisi UU TNI yang telah masuk daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas DPR tahun 2025. Namun perubahan Undang-Undang TNI diperlukan untuk memberikan landasan hukum yang lebih jelas terhadap peran TNI, yaitu tugas lain selain perang tanpa melanggar prinsip demokrasi dan supremasi sipil. (KBRN)