HarianMalut, Jakarta – Ketua Mustasyar Diny Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Prof Oman Fathurahman menyebut pentingnya haji sebagai ibadah untuk memperkaya ilmu atau rihlah ilmiah.
“Sebetulnya kalau haji dulu ada rihlah ilmiah. (Perjalanan) Haji itu selalu berilmu. Masyarakat Indonesia zaman dulu yang naik haji bisa sampai 10 hingga 15 tahun untuk melanjutkan rihlah ilmiah di Tanah Suci,” kata Oman di Makkah, Arab Saudi, Sabtu (14/6/2025).
Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengemukakan, rihlah ilmiah saat ini perlahan memudar karena jamaah lebih fokus ibadah, ziarah, bahkan berbelanja saat memutuskan untuk haji.
“Mereka (dulu) ketika haji tidak langsung pulang. Sekarang memang rihlah ilmiah sudah agak hilang. Ibadahnya ada, ziarahnya ada, tijarah (berdagang)-nya ada, bahkan ada mal (pusat perbelanjaan) begitu, tapi yang hilang itu unsur rihlah ilmiah-nya,” ujar dia.
Setelah merampungkan fase Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), jamaah haji dari seluruh dunia berkunjung ke salah satu lokasi ziarah penting, yakni Gua Hira di Jabal Nur. Hingga Sabtu, Jabal Nur dipadati jamaah haji dari Turki, Bangladesh, India, Pakistan, Uzbekistan, Turkmenistan, China, dan tak terkecuali Indonesia.
Jamaah haji napak tilas ke gunung dengan tinggi 640 meter tersebut. Oman menegaskan, ziarah ke Jabal Nur bukan termasuk dalam rangkaian ibadah haji, melainkan hanya pendakian ke gunung yang bertujuan napak tilas dan ziarah.
“Jadi Gua Hira itu hanya tempat ziarah belaka,” ucapnya.
Namun demikian, Oman menyampaikan bahwa Gua Hira di Jabal Nur menjadi salah satu situs penting dalam sejarah Islam dan kenabian, karena di gua berukuran sempit dan langsung menghadap Kabah itu, Nabi Muhammad menerima wahyu dan risalah Islam.
“Dari gua Hira lahirlah agama baru yaitu Islam yang mengubah dunia, mengubah peradaban, khususnya peradaban bangsa Quraisy yang jahiliyah waktu itu,” tuturnya.
Selain rihlah ilmiah, ulama-ulama asal Nusantara biasanya juga untuk menyambung sanad (hubungan) keilmuan yang didapat sebelumnya.
Tak sedikit juga ulama-ulama Nusantara yang akhirnya dipercaya menjadi guru besar di Makkah seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Yasin al-Fadani, dan ulama lainnya. Ulama-ulama tersebut meninggal di Makkah dan dimakamkan di Maqbarah Ma’la.
ANT
Komentar