Sherly Tjoanda dan Arah Pembangunan Maluku Utara

Karir, Sosok129 Dilihat

“The entire history of capital is the history of the expropriation of the producers.”

Karl Marx (1991) Maluku Utara Di Persimpangan Pembangunan Maluku Utara mengalami transformasi besar dalam dua dekade terakhir. Dari wilayah yang semula berbasis ekonomi agraris-pesisir, provinsi ini kini menjelma menjadi episentrum hilirisasi industri nikel nasional.

Pemerintah pusat menjadikan kawasan ini sebagai lokomotif ekonomi hijau, dengan smelter, pelabuhan, dan jaringan investasi yang tumbuh cepat.

Namun, pembangunan yang bertumpu pada industri ekstraktif membawa serta paradoks. Satu sisi menampilkan wajah kemajuan ekonomi—pertumbuhan dua digit, ekspor melonjak, dan modernisasi infrastruktur. Di sisi lain, ia meninggalkan jejak kerusakan ekologis, keterasingan masyarakat adat, dan ketimpangan sosial. Kasus Gebe, Maba, dan Weda mengilustrasikan wajah ambivalen dari apa yang disebut “proyek pembangunan”.

Nama Sherly Tjoanda, politisi perempuan asal Maluku Utara, kerap muncul sebagai representasi elite yang memegang peran penting dalam konfigurasi ekonomi-politik daerah ini. Sebagai aktor kunci dalam investasi pertambangan dan perumusan arah kebijakan daerah, kehadirannya juga membuka perdebatan tentang bagaimana pembangunan dikendalikan dan kepada siapa ia berpihak.

Melalui artikel ini, saya menyoroti arah pembangunan Maluku Utara melalui dua pendekatan yakni Kapitalisme Ekstraktif dan Alienasi Ekologis (Marx & Clarke), serta Patronase Politik dan Negara Bayangan (Liddle & Schulte Nordholt).

Pendekatan tersebut relevan digunakan untuk meneropong dan menjelaskan relasi kuasa antara aktor negara, elite lokal seperti Sherly Tjoanda, serta rakyat yang terdampak pembangunan.

Memotret peran Sherly Tjoanda dalam Pendekatan Marx dan Clarke Karl Marx menekankan bahwa kapitalisme dibangun di atas pemisahan manusia dari sarana produksinya, terutama tanah dan ruang hidup. Ini menjadi fondasi dari apa yang disebut kapitalisme ekstraktif, di mana eksploitasi sumber daya alam menjadi basis akumulasi.

Dalam kerangka ini, Maluku Utara dikonstruksi bukan sebagai ruang kehidupan, melainkan sebagai “lumbung logam global”. Lebih dari 95.000 hektare wilayah Halmahera Tengah telah dikuasai oleh izin usaha pertambangan (IUP), termasuk PT IWIP yang memiliki konsesi 45.045 ha. Di Pulau Gebe dan Maba, hutan adat berubah menjadi kawasan tambang nikel, sementara wilayah tangkap nelayan di Teluk Weda dan Pulau Pakal terganggu oleh sedimentasi dan pencemaran industri.

Data dari JATAM, WALHI dan Trend Asia (2023) mencatat deforestasi masif, pencemaran air tanah, dan migrasi ekologis masyarakat desa yang terdampak. Lebih dari 1.126 ha lahan di Gebe dan sekitarnya berubah fungsi hanya dalam lima tahun terakhir.

Simon Clarke menyebut bahwa kapital bukan benda mati, tetapi relasi sosial yang hidup. Smelter, pelabuhan, dan jalan industri bukan sekadar infrastruktur, tetapi simbol dominasi atas ruang dan tubuh masyarakat. Ketika masyarakat adat kehilangan hak ulayat, dan nelayan tak lagi punya akses ke laut, maka yang terjadi adalah alienasi ekologis yakni keterasingan total dari lingkungan yang menopang kehidupan mereka.

Meneropong sikap Sherly Tjoanda dalam kacamata Liddle & Schulte Nordholt R. William Liddle (1996) menyoroti bahwa negara di dunia berkembang sering kali tidak berfungsi sebagai institusi netral, melainkan sebagai arena patronase politik, tempat elite memainkan peran sentral dalam mendistribusikan sumber daya. Dalam konteks ini, aktor seperti Shrely Tjoanda tidak sekadar figur politik, tetapi juga penghubung antara kapital dan kebijakan.

Sherly Tjoanda sebagai pemimpin daerah memiliki peran strategis dengan sejumlah proyek strategis industri nikel di Maluku Utara. Perannya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana izin tambang dikelola, bagaimana proses AMDAL disahkan, dan bagaimana konflik masyarakat disikapi. Ketika pemerintah daerah abai terhadap perlindungan warga dan justru hadir sebagai pelindung investasi, maka yang bekerja bukan lagi “pemerintahan berdasarkan hukum”, melainkan pemereintahan bayangan (shadow state), sebagaimana dikonsepkan Schulte Nordholt dan van Klinken.

Hal ini dapat terlihat dalam berbagai kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang. Di Pulau Gebe dan Halmahera Timur, warga yang mempertanyakan transparansi AMDAL atau menolak ekspansi industri kerap dilabeli sebagai penghambat pembangunan, bahkan dihadapkan pada aparat keamanan.

Dalam konteks ini, elite lokal seperti Sherly Tjoanda dapat memilih memainkan perannya baik sebagai aktor formal dalam pemerintahan dan parlemen, maupun sebagai simpul jaringan informal dalam perizinan dan mobilisasi modal. Jika ini yang dimainkan maka Ini menciptakan asimetris kekuasaan antara rakyat dan elite, antara komunitas lokal dan pemilik modal.

Dan oleh karena itu, Maluku Utara membutuhkan redefinisi atas arah pembangunannya. Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa distribusi, yang memihak pada modal dan menyingkirkan masyarakat lokal, hanya akan melanggengkan bentuk baru dari kolonialisme sumber daya.

Sehingga dibutuhkan “Demokrasi ekologis” sebagai sebuah paradigma baru pembangunan daerah yang menempatkan komunitas sebagai subjek pembangunan, mengakui hak ekologis atas tanah, laut, dan udara, serta membangun struktur politik yang tidak terjebak dalam patronase elite.

Peran Sherly Tjoanda sebagai orang nomor satu di Maluku Utara dalam hal ini menjadi penentu. Jika ia menggunakan kewenangannya sebagai Gubernur dan pengaruh politiknya untuk memperjuangkan hak masyarakat terdampak dan meninjau ulang pola investasi ekstraktif, maka ia dapat menjadi agen perubahan. Namun jika justru memperkuat relasi kuasa yang timpang antara modal dan rakyat, maka ia akan dikenang sebagai simbol kegagalan arah pembangunan Maluku Utara.

Seperti dikatakan Marx, sejarah kapital bukan hanya sejarah produksi, tetapi sejarah perampasan. Kini, Maluku Utara dihadapkan pada pilihan sejarahnya sendiri. Apakah pembangunan untuk Rakyat atau Pembangunan untuk Pemodal?

Oleh Penulis: Mochdar Soleman, S.IP., M.Si
Sekjen GP Nuku, Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan, Universitas Nasional Jakarta

Komentar