Warga Buli, Halmahera Timur Tuduh PT Priven Lestari Hancurkan Hutan Mereka

Ternate, HarianMalut – Rencana penambangan nikel di Pegunungan Wato-wato, di Kecamatan Maba, Buli, Halmahera Timur, terus menuai penolakan dan protes dari warga disana.

Meskipun demikian, PT Priven Lestari tetap berupaya melanjutkan operasinya dengan berbagai cara, termasuk menggelar konsultasi publik terkait rencana pascatambang di Hotel Muara, Kota Ternate, pada akhir Desember 2024 lalu.

Dalam konsultasi publik tersebut, PT Priven Lestari mengundang sejumlah pihak yang terdiri dari Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Dinas ESDM Maluku Utara, delapan kepala desa di Kecamatan Maba, pemuda, hingga tokoh agama dan tokoh adat.

Warga dan aktivis lingkungan menilai langkah tersebut bertentangan dengan peraturan dan berpotensi merusak kehidupan mereka.

Said Marsaoly, warga Desa Buli, menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh PT Priven Lestari justru bertentangan dengan aturan yang ada.

“Yang dilakukan oleh PT Priven Lestari justru sesat dan menyalahi aturan,” ujar Said.

Menurut Said, Surat Rekomendasi Arahan Kesesuaian Areal Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Priven Lestari terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Halmahera Timur 2010-2029 menyebutkan bahwa sebagian konsesi PT Priven Lestari tumpang tindih dengan Kawasan Hutan Lindung seluas sekitar 2.600-an hektare, dan sebagian mencakup Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 547,7 hektare.

“Sebagian konsesi PT Priven Lestari yang masuk dalam kawasan APL itu, sebenarnya jaraknya terlalu dekat dengan perkotaan Buli, sehingga dapat berdampak buruk pada perkembangan kota Buli ke depan,” jelasnya.

Anak Muda Peduli Lingkungan menyampaikan lima tuntutan, salah satunya “Cabut izin PT Priven Lestari,” dalam aksi refleksi akhir tahun 2024, di depan Kantor Walikota Ternate, Maluku Utara, 31 Desember 2024. Aksi itu diikuti puluhan anak muda yang berasal dari Halmahera. (Foto: IST/HM)

Lebih lanjut, Said mengungkapkan bahwa PT Priven Lestari belum mengantongi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari Kementerian Kehutanan. Bahkan jika izin tersebut sudah ada, kegiatan pertambangan yang akan dilakukan oleh perusahaan ini dipastikan akan menghilangkan ruang produksi warga serta merusak sumber penghidupan mereka.

“Lahan-lahan produksi warga yang terdapat di kaki Pegunungan Wato-wato akan lenyap, bersamaan dengan hilangnya sumber ekonomi warga itu. Operasi tambang nikel juga akan merusak sembilan aliran sungai yang menjadi sumber air bersih warga yang hidup di pesisir Teluk Buli,” jelas Said, yang juga Juru Bicara Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato.

Said menambahkan, dari rekomendasi Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Halmahera Timur pada tahun 2018, arahan penyesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Haltim 2010-2029 hanya mengakomodasi areal seluas 1.708,4 hektare untuk PT Priven Lestari. Luasan ini tidak termasuk Area Penggunaan Lain (APL), yang beberapa waktu lalu dilakukan pembebasan lahan secara sembunyi-sembunyi oleh PT Priven Lestari.

Menurut Said, tindakan PT Priven Lestari bertentangan dengan Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang RTRW Haltim tahun 2010-2029. Di mana, pada Pasal 14 poin (9) huruf (c), dijelaskan bahwa areal konsesi PT Priven Lestari terdapat sumber mata air yang ditetapkan sebagai pengembangan sumber daya air bersih untuk perkotaan Buli.

“Makanya, sumber baku air bersih yang dimanfaatkan PDAM Kecamatan Maba juga terancam karena jalan hauling yang dibangun oleh Priven lewat di situ. Jalan hauling ini menabrak tata ruang Halmahera Timur, karena areal itu masuk dalam zona pengembangan sumber daya air,” jelasnya.

Dalam Pasal 16-22 terkait Rencana Pola Ruang Haltim, disebutkan bahwa kawasan tersebut terdiri dari Kawasan Lindung dan Budidaya. Kawasan Lindung mencakup hutan lindung, perlindungan setempat, dan suaka alam. Sementara, konsesi IUP Priven terletak di kawasan lindung, termasuk di antaranya hutan lindung, sumber mata air, serta kawasan rawan longsor dan banjir.

Penolakan warga terhadap kehadiran PT Priven Lestari sudah berlangsung sejak 2014 hingga 2018. Bahkan, dalam konsultasi publik yang dilakukan oleh PT Priven, tidak ada pencatatan atau penyertaan hasil yang mencerminkan aspirasi warga.

Bahkan, izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Pemprov Maluku Utara pada tahun 2018 juga tidak diketahui oleh warga. Selain itu, terdapat dugaan manipulasi tanda tangan warga dan kesalahan dalam penulisan nama suku yang tertera dalam AMDAL PT Priven.

“Itulah mengapa, dalam konsultasi publik pascatambang yang dilakukan di Ternate beberapa waktu lalu, sebagian besar kepala desa tidak mau hadir,” katanya.

Senada dengan itu, Pegiat JATAM Maluku Utara, Julfikar Sangaji, menyatakan bahwa kawasan di belakang perkampungan Buli ini adalah satu-satunya ruang hidup yang tersisa dan harus dijaga. Bentang hutan ini memiliki peran vital dalam menjaga keberlangsungan hidup warga di Buli.

“Jika Pegunungan Wato-wato ini dibongkar oleh tambang nikel, maka itu sama saja dengan mengundang petaka bagi warga,” ujar Julfikar.

Menurutnya, hampir seluruh ruang di kawasan Teluk Buli telah disesaki oleh IUP. Oleh karena itu, mereka mendesak DPRD dan Pemerintah Halmahera Timur untuk segera mengeluarkan surat rekomendasi pencabutan IUP PT Priven Lestari.

“Selain itu, Kementerian ESDM juga perlu segera mencabut izin tambang ini,” katanya. (HPOST/IR)