HarianMalut, Jakarta – Semua pihak diajak serius mengimplementasikan kebijakan penyerapaan tenaga kerja dari kelompok disabilitas, termasuk penyandang autisme. Hal tersebut dikarenakan serapan tenaga kerja dari kelompok berkebutuhan khusus masih belum optimal sejauh ini.
Meskipun pemerintah telah menyediakan pelatihan keterampilan melalui Balai Latihan Kerja (BLK), efektivitasnya belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dunia kerja. Pernyataan tersebut disampaikan Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Veronica Tan.
“Berarti kita juga harus melihat dari ujungnya. Lapangan pekerjaan atau pemberi kerja butuh kualifikasi seperti apa? Dasar inilah bisa kita gunakan untuk membuat modul dalam melatih anak-anak disabilitas atau penyandang autisme,” ujar Veronica Tan dalam keterangannya, Jumat (23/5/2025).
Veronica juga menekankan pentingnya membangun ekosistem dunia kerja yang inklusif dan berkelanjutan. Hal inilah yang akan menghubungkan peserta pelatihan dengan dunia usaha dan industri.
Ia juga mengungkapkan rencana ke depan untuk membentuk satu lembaga khusus. Lembaga ini dapat melakukan asesmen, pelatihan, hingga penempatan kerja bagi penyandang disabilitas secara menyeluruh.
Veronica mengingatkan bahwa sudah ada regulasi yang mengatur kuota penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Penyandang disabilitas harus diterima minimal dua persen di instansi pemerintah dan satu persen di perusahaan swasta.
Namun, implementasinya masih perlu pengawasan dan penguatan di lapangan. Sementara itu, Ketua Yayasan Autisma Indonesia Adriana Ginanjar menyoroti minimnya peluang kerja bagi penyandang autisme.
“Ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi penyandang autisme saat ini antara lain pertama adalah stigma, penyandang autisme tidak mampu bekerja dan berkarya. Padahal banyak di antara mereka yang sudah menunjukkan karya-karyanya dan bisa bekerja bila mendapat pendampingan yang tepat,” kata Adriana.
Adriana mengungkapkan banyak orang tua merasa kebingungan menentukan arah karier anak-anak mereka setelah menyelesaikan pendidikan formal. Ia juga menilai implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas belum optimal, khususnya terkait peluang kerja.
KBRN